“ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHA ILLAA ANTA KHALAQTANII WA ANAA  ‘ABDUKA WA ANAA ‘ALAA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU, A’UUDZU BIKA MIN  SYARRI MAA SHANA’TU WA ABUU-U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA A’TARIFU  BIDZUNUUBII FAGHFIR LII DZUNUUBII, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA  ANTA”
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ وَأَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَعْتَرِفُ بِذُنُوبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Huraits telah  menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abu Hazim?? dari Katsir bin  Zaid? dari Utsman bin Rabi’ah? dari Syaddad bin Aus? radliallahu ‘anhu  bahwa Nabi? shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Maukah aku  tunjukkan kepadamu sayyid istighfar? Yaitu ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA  ILAAHA ILLAA ANTA KHALAQTANII WA ANAA ‘ABDUKA WA ANAA ‘ALAA ‘AHDIKA WA  WA’DIKA MASTATHA’TU, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA’TU WA ABUU-U LAKA  BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA A’TARIFU BIDZUNUUBII FAGHFIR LII DZUNUUBII,  INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA. (Ya Allah, Engkau adalah  Tuhanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engaku, Engkau  telah menciptakanku, dan aku adalah hambaMu, dan berada dalam perjanjian  dan janjiMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan apa yang  telah aku perbuat, dan aku mengakui kenikmatanMu yang Engkau berikan  kepadaku dan mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosaku, sesungguhnya  tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau). Tidak ada  seorangpun diantara kalian yang mengucapkannya ketika sore hari kemudian  datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum datang pagi hari  melainkan wajib baginya Surga, dan tidaklah ia mengucapkannya ketika  pagi hari kemudian datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum  datang sore hari melainkan wajib baginya Surga. (HR.Tirmidzi : 3315 ).
Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga,  para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.  Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang  hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka  dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah  pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah  mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat  ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM  (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai  kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional  Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain  kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli  astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu  dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan  orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung  sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun  45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga  memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada  bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam  kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM,  dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau  Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius  Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai  dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun  baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak  dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ  فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ  أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ  الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan  Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan,  ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang  Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu  hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum  muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar  meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini  adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar  perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan  sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum  muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul  Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan  secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara  periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi  dalam ied terkumpul beberapa hal:
- Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
- Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
- Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
- Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
- Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau  golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang  terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
 “Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari  kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu  termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di  samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang  lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena  menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam  sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang  Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik  dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ  قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا  رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ  أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ  وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ  لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ  وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian  sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika  orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh  lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob  (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa  tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan  Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan  berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini  adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah  terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai  model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang  setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk  pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian,  penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil  Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang  kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara  orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada  malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia,  mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.  Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada  manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh.  Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa  tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual  kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika  itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan  meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi  dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang  penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu  Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai  tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir  dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim  memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini  tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi  ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang  kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang  diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah  memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti  mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau  dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau  memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun  dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari  raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat  atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini  lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih  dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang  yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat  pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut.  Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang  mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada  seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas  mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk  menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini  diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari,  kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang  kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak  mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi  hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah  kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu  bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa  itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin  tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib  (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar  dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain,  zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan  mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia  dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang  mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar.  Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti  orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput  darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya  sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.  Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi,  celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan  kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu.  Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14]  Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari  oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena  bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga  malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut  namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan  mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar. 
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang  tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau  berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak  suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin  melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat  shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul  orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah  kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur  lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu  yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath(campur  baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan  mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan  kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang  berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang  terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan  muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan  kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ  مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا  الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا  الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى  وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini  suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah  dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah  dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina  kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan  berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau  mengingkari yang demikian.”[17] 
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan,  terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu  kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu  orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal  mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah  dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya  dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al  Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti  walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan  yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja  dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan  perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam  waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang  pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala  hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru  sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang  yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap  orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah  sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta  yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan,  kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb.  Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan  janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah  menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan,  “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang  benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang  menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang  keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan,  “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam  berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk  berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu  sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal  yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ 
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa)  menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu  akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat.  Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan  penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang  telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan  tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan  ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya.  Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah  cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup  untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang  kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah  mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil  yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari  menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru.  Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan  satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim  tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya  merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang  bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan  banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang  sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan  berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia.  Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih  baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah  semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan  seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah  keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah  petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku  masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan  (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya  kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa  shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
 
 



 
 
 

 
 
 


















 
